Wednesday, July 2, 2014

Mengapa Jokowi




Dulu pemikiran sederhana saya, pemilu hanya tinggal coblos gambar mana yang disuka, terus lanjutkan hidup, dan terima apa yang ada di depan mata.
Dulu bagi saya pemilu adalah libur gratis satu hari, yang sayang kalo gak dimanfaatkan. Waktu pemilu bukannya saya jauh-jauh hari persiapkan data dan nama saya apakah tercatat di TPS (lagi pendidikan di kota lain), saya malah habiskan waktu libur sehari itu di mall. Niat milihpun tidak.
Karena dulu saya apatis. Dulu saya tidak optimis. Dulu saya tidak tau bahwa suara saya bisa membuat Indonesia beda.
**
Pemilu memang bukan hanya sekedar menyoblos. Gambar orang yang kamu coblos adalah perwakilan kamu, menjadi perpanjangan tangan dan telingamu di negara ini. Pemimpinmu. Penentu nasib bangsa. Dia bilang perang, peranglah kita. Dia bilang masuk jurang, masuk juranglah kita ramai-ramai. Ternyata tidak sederhana ya. Ternyata salah pilih bisa bahaya.
Di depan mata, kurang lebih 9 hari lagi, kita akan memilih presiden dan wakil presiden. Baru kali ini saya dag dig dug. Baru kali ini juga saya terlibat cukup dalam. Mulai dari jadi relawan Turun Tangan, kampanye di Sosial media, bagi-bagi digital infografis ke teman-teman, dan persuasi ke mereka yang masih bingung. Dan seperti yang sudah terang benderang saya nyatakan di berbagai media : saya pilih Jokowi.

-Mengapa Jokowi-
Tentu selanjutnya, kenapa Jokowi?
Padahal dulu saya sangat setuju Prabowo maju jadi presiden?
Jujur, saya adalah salah satu orang yang percaya bahwa Indonesia ini sudah salah urus. Intoleransi dimana-mana, agama sama tapi cara ibadah beda bikin petaka, belum lagi korupsi yang makin lama makin luar biasa ketauannya (iya, yang paling nauzubilahminzalik itu korupsi Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar), dan rasa aman jadi susah dicari buat yang minoritas. Negara jadi negara autopilot 5 tahun terakhir ini. Hidup sih hidup, tapi seperti zombie. Makanya saya setuju Prabowo jadi presiden, biar bisa mengatur Indonesia in the right order, atau begitulah harapan saya dulu.
Lalu muncul Jokowi. Saya dengar prestasinya di Solo begitu harum. Tidak pernah ambil gaji. Dekat dengan rakyat. Rumah dinasnya bisa didatangi rakyat kapan saja. Sering belanja ke pasar. Sering dialog dengan warga. Dia atur PKL di Pasar Beringharjo biar mau pindah ke lokasi yang lebih rapi, setelah 52 kali (!!) mengundang mereka makan dan untuk negosiasi. Dia tolak pembangunan mall, walaupun untuk itu dia rela dibilang "bodoh" oleh pak Gubernur. Termin kedua dia ikut pemilihan walikota Surakarta, dia menang 90% tanpa kampanye. Belum ada kepala daerah lain yang bisa dapat kepercayaan warganya begitu rupa, seperti Jokowi.
Jokowi antitesis pejabat negara yang selama ini saya tau. Saya kagum.
Lalu Jokowi ditawari jadi Gubernur Jakarta. Jakarta yang sudah puluhan tahun porak poranda. Dikuasai mafia, dikuasai preman, dan terhimpitlah di tengah-tengah ratusan orang kekurangan yang cuma tidur di rumah kardus. Kontras. Jakarta ibukota negara mungkin perlu tangan dingin pemimpin baru, Jokowi.
Terus berhasil? Enggak. Jakarta sebagian besar dikuasai oleh pemerintah pusat. Mau relokasi warga, itu tanah punyanya Pusat. Mau bikin MRT, terhalang pembebasan lahan yang izinnya dari Pusat. Mau melebarkan ruas jalan, eh itu jalan Nasional yang bisa ditebak, tidak dapat izin dari pusat. Jakarta masih banjir, masih macet, karena mungkin pemerintah Provinsi DKI dan Pemerintah Pusat belum bersinergi.
Sekarang Jokowi maju jadi Presiden RI. Yang di Jakarta sudah senang, karena Jokowi bisa membenahi Ibukota langsung dari Istana Negara. Tapi yang kecewa berapi-api malah warga di luar Jakarta. Apa segitunya solidaritas antar warga ya? Ha ha ha.

-Mengapa Tidak Prabowo-
Dan balik lagi, kenapa saya yang dulu pro Prabowo malah sekarang pro Jokowi?
Karena Jokowi memberi harapan. Dia antitesis cukong partai. Dia mempunyai gagasan bahwa kalau mau berubah, mau Indonesia maju, harus dari diri kita sendiri. Ubah mindsetmu, revolusi mentalmu. Jangan lagi tengadahkan tangan di bawah mengemis minta ke pemerintah, tapi ayo, sama-sama kita benahi Indonesia dengan syarat seluruh warga Indonesia mau mengubah mental minta-minta jadi mental berusaha. Jokowi berikan kemudahan berusaha, good governance, dan yang paling krusial, rasa aman. Mentalmu harus kuat. Mentalmu harus optimis. Dan kalau kamu optimis, itu akan menular. Begitulah yang saya tangkap dari Revolusi Mental Jokowi ini.

-Bagaimana, Kamu Ikut?-
Jadi saya memilih untuk ikut Jokowi. Percaya Jokowi. Percaya masih ada orang baik dan tulus yang mau mengurus Indonesia. Percaya bahwa orang baik harus didukung, jangan didiamkan.
Saya memilih untuk lewat jalan berliku, terserempet sana sini karena pilihan saya tidak populer, bahkan sampe memohon memelas ke bapak saya "Pa, Ika pilih Jokowi, karena Ika percaya, biarkan Ika memilih yang beda dari papa".
Pemilu tidak hanya asal nyoblos. 5 tahun itu terlalu lama untuk menderita akibat pilihan yang salah.
Selamat memilih tanggal 9 Juli nanti.
Semoga tidak asal coblos.

#Salam2Jari
#TegasPilih2
#RamePilih2
*people power*
-catatan kaki-
Untuk Pak Prabowo, saya sungguh dulu percaya Bapak tulus cinta Indonesia. Semua orang punya masa lalu pahit. Dan saya yakin Bapak sudah belajar dari itu. Tapi kenapa demi ambisi menjadi penguasa negeri Bapak rela menjilat sana-sini, berkoalisi dengan ARB, menggandeng FPI, yang mau membakar rumah berisi anak yatim karena mereka Ahmadiyah, dan memuji pemerintahan SBY sebegitu rupa. Padahal Bapak tau bagaimana hidup rakyat di bawah pemerintahan SBY. Maaf Pak, orang yang menghalalkan segala cara demi ambisi menjadi penguasa, juga akan menghalalkan segala cara untuk mempertahankannya. Saya ngeri, Pak. Saya tidak mau anak saya hidup di zaman seperti saya dulu. Doktrin, seragam, dan tidak boleh 'beda'. Saya ingin anak saya hidup di Indonesia yang warna warni, bukan rasa takut.
 
-end-

Thursday, June 12, 2014

Gegap Gempita Pilpres 2014

2004. Kita flashback. Saya baru masuk kuliah. Tidak dapat kartu pemilih, dan tidak ikut pemilihan presiden.
Mari flashback ke tahun 2009. Saat itu saya masih kuliah, lagi koas, setahun sebelum menamatkan profesi dokter. Pilpres berlangsung, calonnya ada tiga. Mega-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto. Saya tidak terlalu peduli dengan pilpres tersebut, selain karena masih sibuk, saya melihat ketiga calon pasangan ini tidak "baru", artinya "oohh..mereka toh. Ada mantan presiden, mantan jenderal, mantan wapres, dan mantan gubernur BI. Siapapun yang menang, pasti tidak banyak bawa perbedaan, karena toh sudah pernah tau mereka.

2014.
Pilpres lagi, kali ini calonnya ada dua. Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK.
Apa yang beda?
Gegap gempita.
Harapan baru.
Optimisme.
Kebebasan berpendapat
Mari lihat apa yang membuat saya merasa pilpres ini berbeda.
Media sosial seperti Facebook, twitter, instagram, path, dan lainnya sangat menggurita di Indonesia dalam 5 tahun terakhir. Kita termasuk pengguna twitter terbanyak di dunia, facebook lebih banyak lagi. Informasi berseliweran, entah benar atau tidak. Semua orang bebas bikin artikel, entah fakta entah fiksi. Semua orang bisa menyampaikan pendapatnya, dan langsung bisa disanggah atau ditanggapi orang lain. Masing-masing kandidat dipuji, diuji, dihujat, dihina secara fisik, dikulik-kulik masa lalunya, keluarganya, agamanya, pendidikannya. Lebih seru karena bukan hanya menilai kedua kandidat dari visi masa depan bangsa yang mereka tawarkan, kita juga menggugat mereka dari masa lalunya. Inilah yang saya bilang sebagai gegap gempita. Google keyword Jokowi capres atau Prabowo capres, hasilnya akan ada ratusan artikel. Semua ingin ambil bagian dalam pilpres ini. Gegap gempita.
*
Dari empat nama di atas, ada satu yang baru. Selama ini beliau "hanyalah" walikota Solo, tapi periode kedua di Solo, beliau menang 90% suara rakyat Solo, tanpa kampanye jor-joran. Selama menjabat tidak pernah ambil gaji. Publik ingin tahu. Siapa ini pejabat negara yang mendobrak pakem lama pejabat harus dilayani. Setelah itu beliau jadi calon gubernur ibukota. Menang pula. Orang Solo menang di ibukota, siapa yang menyangka kan? Ada yang bilang beliau "hanya" produk ciptaan media, media darling, tapi kenapa 90% rakyat Solo percaya dia, dan 40sekian% rakyat Jakarta percaya dia? Tentu bukan cuma karena puja puji media.
Sekarang Jokowi jadi salah satu calon presiden. Harapan baru menurut saya, dobrak pakem lama bahwa ketua partailah yang harus jadi capres. Bahwa yang berduitlah yang punya kesempatan jadi calon penguasa negeri. Jokowi adalah representasi mimpi anak bangsa, siapapun bisa bercita-cita jadi calon presiden, walaupun kamu bukan anak menteri, jendral bintang tiga, atau trah darah biru para pejuang kemerdekaan. Ini harapan baru, menurut saya. Dan semakin membuat pilpres kali ini, beda.
*
Demokrasi yang kita nikmati sekarang adalah harga mahal yang dibayar dengan perjuangan kakak-kakak aktivis, kelompok masyarakat di tahun 1998. Saya masih SMP, yang saya ingat Jakarta hancur lebur waktu itu, ada mahasiswa yang ditembak mati, harga barang meroket, mama papa saya bingung mau dibawa kemana kami kalo Indonesia rubuh hanya tinggal nama. Tapi tidak, kita tetap di bumi Indonesia. Walaupun presiden-presiden selanjutnya belum bisa mencapai kemakmuran (kemiskinan masih banyak, masih ada yang tidak sekolah karena biaya, masih ada kematian ibu, dan korupsi masih mendarah daging), kita harus dan harus terus menyalakan harapan bahwa Indonesia, tanah tumpah darah kita ini, akan berada di kolom negara maju nantinya.
Apa bisa maju kalo cuma presidennya yang usaha sendiri?
Tidak.
Anies Baswedan bilang, kekayaan Indonesia sebenarnya adalah manusianya, rakyatnya, we, the people. Kalau kita tidak memulai duluan, berjanji mendukung siapapun presiden terpilih kita nanti, Indonesia akan tetap jalan di tempat, kawan.
Buat sekarang? Telaah lah calon kalian masing-masing. Rekam jejak masa lalu itu penting, tapi bukan yang utama. Masa lalu telah membentuk karakter para calon ini, dan saya yakin mereka telah belajar dari itu. Lihatlah mereka dari apa yang mereka tawarkan buat bangsa ini. Kemana arah kapal besar bermuatan 250juta orang ini akan mereka nakhodai. Menuju maju? Atau mundur? Telaah mereka tentang bagaimana mengatasi kematian ibu, bagaimana memajukan pendidikan, bagaimana mereka berantas dan mencegah korupsi.
Akhir kata, selamat memilih 9 Juli nanti. Calon presiden adalah manusia, bukan Tuhan. Mereka akan mengecewakan, jadi siap-siap. Saya sendiri akan sepenuhnya mendukung siapapun yang terpilih nanti. Karena ketika dia diangkat sumpah sebagai presiden nanti, dia bukan lagi calon presiden saya, atau kamu, tapi dia adalah Presiden Indonesia.

-ika fairuza, jam 4 pagi-

Monday, March 24, 2014

Walaupun RSIA, Belum Tentu Pro ASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012
TENTANG

PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF 

 Informasi dan Edukasi

Pasal 13

  1. (1)  Untuk mencapai pemanfaatan pemberian ASI Eksklusif secara optimal, Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan informasi dan edukasi ASI Eksklusif kepada ibu dan/atau anggota Keluarga dari Bayi yang bersangkutan sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI Eksklusif selesai. 

    Silahkan google lah, banyak kok yang nampilin PP ini.

    -------------------------------------------------

    Oke, aku akan mulai dengan narik nafas dulu. Hhhh..

    Hari Minggu, aku datang ke Medan, dengan dua agenda. Yang satu, mau mendampingi suami yang akan ujian masuk PPDS. Kedua, dengan niat yang tulus dan semangat '45 mau jadi Konselor Laktasi buat adik ipar yang baru lahiran. Misi pertama, mulus, tidak ada halangan. 

    Misi kedua, yang tadinya aku hero, dijatuhkan sejatuh-jatuhnya jadi zero. 

    :(

    Minggu malam aku sampai di RSIA ini, terkenal sekota Medan, terkenal seAsia Tenggara sebagai pusat bayi tabung dengan banyak sekali cerita berhasil. Tentu, mendengar namanya yang RSIA, ibu dan anak, aku sangat yakin mereka akan Pro ASI Ekslusif. Iya lah, namanya aja RS ibu dan anak, pastilah pro dengan yang terbaik kan.

    Ternyata?

    Nol besar.

    Dari siang sebelum adik ipar di SC, aku udah dapat kabar kalo di RS ini ada peraturan, kalau mau ASI Ekslusif dan IMD harus dibilang dulu, dicatat di status, dan ditulis di papan box bayi. Tunggu, berarti mereka gak mewajibkan IMD dan ASI Ekslusif kah?

    Di sini suami udah bilang, kebijakan RS yang aneh. Bukankah IMD dan ASI Ekslusif itu wajib? (liat lagi PP di atas secara lengkap) Kok di sini berupa pilihan? Liat pasal 13 ini deh, di sini tertulis kan, seluruh petugas kesehatan dan fasilitas kesehatan (termasuk RSIA yang hebat ini) untuk memberi edukasi bahwa IMD dan ASI Ekslusif itu wajib. Ini kok malah ngasih pilihan, hey Bu, mau ASI? Ya lu harus bikin dulu di sini kalo lu mau ngasih ASI.  

    Setelah bayi lahir, dirawat gabung ama ibu (kalo gak ASI, bayi langsung masuk ruang bayi, zing!), tapi menurut cerita suami, gak ada bidan/dokter/perawat yang ngajarin tentang menyusui ini. Lagi-lagi liat pasal 13 di atas. Salah kan mereka.

    Well, jam 9 malam aku sampe, masuk ruangan liat mbak perawat bawa sufor. Iya, gak salah baca, sufor! Ternyata, menurut cerita kakak ipar, pihak RS menawarkan Sufor ke keluarga, dengan alasan bayi mulai dingin. Oh astaga, gigit saya, di zaman yang serba akses begini kok masih mencoba kibulin pasien sih? Tapi ibunya masih bertahan dengan bilang mau ASI Ekslusif. Aku datang, langsung ajarin tentang menyusui. Bayi menyusu, keluarga tenang, semua lega, dan aku jadi pahlawan.

    Yakin?

    Masalah selesai??

    Misi berhasil???

    Ternyata TIDAK. 

    Besoknya, mama mertua pulang dari RS, aku tanya, masih menyusukah si kecil? Mama bilang, masih, tapi ASInya sedikit. Aku mulai cemas. Begini ini yang paling bisa bikin ibu baru merasa tidak percaya diri, ASI macet, karena percaya bahwa ASInya sedikit. Akibat siapa? Akibat minim support.

    Segera kami siap-siap ke RS, perasaan aku mulai gak enak, takut kalo adik ipar menyerah dan tunduk dengan kuasa sufor. Meh!

    Masuk ruang rawat, aku lemas. Jantung berdegup kencang sekali. 

    Mana si kecil?

    Lagi di ruang anak, dikasih susu.

    Ya Allah, maafkan dia yang sudah merampas hak anaknya untuk dapat kasih sayang. 

    Begitulah, dimulai perdebatan panjang antara aku, mama mertua, dan si adik ipar. 

    Yang kalah?

    Ya aku. Orang asing yang dianggap sok tau. 

    Sampai mulut berbusa pun, kalau si ibu sudah menyerah, gak tahan sakit saat menyusui, gak tahan kalau gak tidur malam karena bayi rewel, gak dapat dukungan dari orang terdekatnya, proses menyusui ini akan GaGaL. GAGAL..

    Kebayang gak, si kecil di ruang bayi, nangis, pengen dekat mamanya dan dipeluk mamanya, malah dicucukin puting keras, ditepok pantatnya sambil disuruh diam ama perawat di sana?

    Kebayang gak, dia padahal masih ingin mengenyot, tapi puting palsu alias dodot ini sudah diambil karena habis waktu menyusui?

    Kebayang gak, udah capek-capek hamil besar, tapi urusan ngasih makan anak (menyusui) malah diurus orang asing?

    Astaghfirullah..

    Yang salah?

    Kita, orang tua, yang tidak melengkapi diri dengan informasi apa yang terbaik buat anak.

    Kita, orang tua, yang tidak mau berkorban sedikiiiit jam tidur dan kesakitan, demi bayi yang sudah dipercayakan ke kita.

    Dan masih banyak segudang alasan kenapa kita sebagai orang tua salah bila gagal menyusui.

    Pihak RS juga salah, tidak memberikan informasi yang benar, menawarkan sufor, membuat ibu jadi was was, dan yang pasti RSIA ini sudah melanggar PP 33/2012 ini. 

    -----------------------------------------------

    Mungkin excuse orang tua yang tidak memberi ASI ekslusif akan seperti ini,

    Biarlah kali ini gagal, anak kedua kan masih ada kesempatan memperbaiki.

    Doa saja Allah kasih kamu kepercayaan lagi. Wong dikasih satu aja kamu sia-siain.


Thursday, March 20, 2014

Sekolah Lagi?



Inilah akibat dari sering browsing malam-malam karena gak bisa tidur lagi habis nyusuin Agi. I'm ended up in this *Milis Beasiswa* site.

Sekolah lagi?

Tambahkan kata "Emang pengen" sebelum 2 kata sakti di atas. Jawabannya, yap, iya, pengen. Ilmu itu bikin nagih. Itulah kenapa aku suka kerja di Puskesmas (for now) karena bakalan update terus ilmunya. Sering ikut pelatihan dan belajar ilmu lain selain ngobatin pasien.

Oke, kalo mau sekolah lagi, mau sekolah apa?

NAH!

Inilah yang masih bingung. Sebenarnya mudah kalo kita sudah tau mau kita apa, bayangan diri kita bakalan jadi apa dalam 20-25 tahun ke depan, dan sebab mau sekolah lagi ini karena pengen ilmu kah, pengen terbebas dari kewajiban kerja kah, pengen kaya kah, atau pengen jalan-jalan ke luar negeri?

Kita liat ya. Sejak di puskesmas, belajar ilmu konseling, dan jadi konselor laktasi, aku jadi sukaaa sekali membuat orang lain mengerti dan mempengaruhi mereka (dalam arti baik ya) untuk bisa menyusui bayinya ekslusif. Rasanya senang sekali. mata berbinar-binar. Mulut tersenyum lebar. Jadi aku memang mau mendalami tentang dunia ASI ini. Tapi mendalami apanya? Kalo mau terus membantu ibu-ibu biar bisa menyusui, bisa tetap jadi dokter umum, bisa juga jadi dokter anak.
Tapi menjadi dokter anak, belum tentu mudah, dan jangan dikira hanya ngurusin ibu-ibu yang kesulitan menyusui saja. Aku juga harus rela membagi waktu antara keluarga dan pasien. Which is, i'm not willing to...yet. Agi masih kecil, dan kalo papapnya sibuk, mamanya ikutan sibuk, apa gak malah dosa terkesan mengabaikan hak anak? Oh, Big No Way!

Kita liat lagi minat aku dimana. Aku pengen kuliah di luar negeri. Biar wawasan luas. Bisa ajak Agi juga. Tapi ya terkendala di biaya. Sebenarnya kalo niat kita kuat, pastiii aja ada jalan. oke deh, untuk yang satu ini niat juga belum kuat. Emang targetnya aku mulai mikirin sekolah dan karier ke depannya setelah Agi umur 3 tahun, sekitar 19 bulan lagi (hahaha, bentar lagi!). Prioritas sekarang, ya ke Agi dulu. Kemaren sempet liat tentang jurusan Informatika Kesehatan. Menarik sekali. Tapi yang cocok beginian ya si papap, tukang otak atik software. Liat juga jurusan Public Health, bagus, menarik, aku sudah kebayang sedikit-sedikit aplikasinya gimana, tapi belum bisa dan belum mau fokus mikirkan itu.

Anyway, sekarang ini aku punya waktu sekitar 19 bulan untuk nentuin, mau kuliah apa, dimana, dan gimana pembiayaannya. Yang penting, niat sekolah dan mencari ilmu lagi ini jangan sampai padam, mimpi jangan sampai malas, cita-cita jangan sampai terpendam.

Be a good dreamer.
Be a good prayer.